Sebelum
manusia ada, hidup, berkembang, memanfaatkan, hingga mengeruk kekayaan alam di
planet ini, dinosaurus-lah yang berkuasa selama jutaan tahun lamanya. Ratusan
jenis dinosaurus mulai yang berukuran lebih kecil dari tubuh manusia hingga
puluhan kali lebih besar hidup, berkembang biak, serta beradaptasi di planet
hijau ini. Manusia kini hanya bisa melihat mereka dari sisa-sisa fosil yang
ditemukan dan penggambaran visual dengan bantuan teknologi canggih. Para ahli
dinosaurus pun masih banyak yang memperdebatkan penyebab kepunahan mereka.
Zaman es, aktivitas gunung berapi, hingga hantaman asteroid ke bumi banyak
dipercaya sebagai penyebab utama kepunahan mereka. Tapi menurut penelitian
terbaru yang dilakukan oleh para peniliti Inggris, gas metana yang dikeluarkan
oleh dinosaurus-lah yang menyebabkan kepunahan mereka.
Dinosaurus (sumber: Wikipedia) |
Berdasarkan perhitungan,
dinosaurus telah menghasilkan lebih dari 520 juta ton metana per tahun ke udara
dan angka tersebut cukup untuk menghangatkan planet bumi. Menurut peneliti
David Wilkinson dari Liverpool John Moores University, dinosaurus sauropod
telah menghasilkan gas metana yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan
gabungan seluruh metana yang diproduksi oleh alam dan manusia masa kini dan hal
itu menyebabkan efek yang signifikan bagi iklim era Mesozoikum. Menurut para
peneliti, 520 juta ton metana tersebut memerangkap suhu panas di permukaan bumi
dan menyebabkan perubahan iklim. Sebagai perbandingan pada masa kini, seluruh
hewan ternak yang ada di muka bumi sekarang hanya memproduksi 100 juta ton
metana per tahun. Bisa jadi perubahan iklim yang ekstrem dan ketidakmampuan
dinosaurus untuk beradaptasi menyebabkan kepunahan mereka.
Perubahan
iklim telah dirasakan juga oleh penguasa bumi sekarang, manusia, yang mendiami
bumi belum sampai jutaan tahun lamanya. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan,
manusia masih dapat terus bertahan dan berkembang hingga kini mencapai 7 miliar
orang. Manusia juga bisa mengekplorasi dan memanfaatkan kekayaan planet ketiga
di sistem tata surya Bimasakti ini, tetapi sayangnya manusia juga menyebabkan
berbagai kerusakan. Kegiatan industri manusia dan perusakan alam berkontibusi
besar terhadap rusaknya lapisan ozon dan perubahan iklim yang terjadi sekarang.
Musim-musim mulai tidak menentu, cuaca sulit untuk diprediksi, suhu permukaan
bumi meningkat, permukaan air laut pun meningkat, suhu air laut memanas, itulah
beberapa tanda perubahan iklim.
Manusia tentu
sangat merasakan dampak dari perubahan iklim tersebut, golongan yang paling
parah terkena dampak perubahan iklim adalah para petani dan nelayan. Para petani kini sulit untuk menentukan
masa tanam dan masa panen, seringkali mereka pun mengalami gagal panen. Sedangkan
para nelayan kini semakin sulit untuk mencari ikan karena seringkali ada
gelombang tinggi yang membahayakan nyawa mereka jika mereka tetap melaut. Berdasarkan laporan FAO bertajuk "The State of World Fisheries and Aquaculture 2008", sebanyak
24 ribu nelayan tewas di laut. Selain
itu ikan-ikan di laut pun semakin menipis karena suhu air laut meningkat dan
mempengaruhi perkembangbiakan ikan. Terumbu karang banyak yang mengalami
kerusakan akibat perubahan iklim. Terumbu karang adalah tempat berkembangbiaknya
ikan, dan jika terumbu karang rusak sudah pasti mempengaruhi jumlah ikan di
laut.
Manusia yang
tinggal di Indonesia alias bangsa dan rakyat Indonesia wajib bersyukur karena
diberikan kekayaan alam darat, laut, dan perut bumi yang luar biasa besarnya. Indonesia
bersama Brazil dikenal sebagai paru-paru dunia yang mempunyai hutan tropis
terluas di dunia, kekayaan hutan tersebut tidak hanya menghasilkan oksigen bagi
seluruh penduduk bumi tetapi juga memberikan hasil hutan bagi masyarakat
sekitar jika dikelola dengan baik. Indonesia pun mempunyai wilayah lautan yang
lebih luas daripada wilayah daratannya dan terlebih lagi Indonesia terletak di
segitiga terumbu karang (The Coral
Triangle) dunia. Hal tersebut membuat laut Indonesia kaya akan ikan.
Sayangnya nelayan Indonesia kebanyakan adalah nelayan tradisional yang menggunakan
perahu sederhana dan mereka sangat merasakan dampak dari perubahan iklim yang
terjadi saat ini.
Sebagai
makhluk yang mempunyai akal dan pikiran, tentu manusia mempunyai tingkat
adaptasi yang tinggi. Kita juga harus bisa beradaptasi dengan perubahan iklim
yang terjadi. Meskipun perubahan iklim dapat mengganggu kegiatan perekonomian
dan menyebabkan semakin tingginya angka kemiskinan, tapi beradaptasi dapat
membuat kita dapat tetap bertahan hidup. Banyak negara di dunia menyadari bahwa
proses beradaptasi terhadap perubahan iklim sangatlah penting dan negara harus
membantu rakyatnya untuk beradaptasi. Proses beradaptasi terhadap perubahan
iklim pun telah dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Pengarung lautan menjadi pembudidaya rumput
laut untuk bertahan hidup
Akibat perubahan iklim yang menyebabkan adanya gelombang besar dan tidak
menentunya arah angin laut, nelayan-nelayan di dusun Grupuk, Lombok Tengah
tidak bisa lagi terlalu mengandalkan hasil tangkapan ikan di laut. Apalagi mereka
hanya menggunakan alat tangkap dan perahu mesin berukuran kecil, Para nelayan
sempat terpuruk namun untungnya pemprov Nusa Tenggara Barat memperkenalkan
mereka budidaya rumput laut. Warga diberi bantuan perlengkapan dan modal usaha,
serta dilatih kemampuan teknis budidaya rumput laut, usaha budidaya rumput laut
di Dusun Gerupuk pun semakin berkembang. Awalnya di sana hanya ada dua kelompok
nelayan pembudidaya rumput laut, kini sudah ada sembilan kelompok nelayan,
setiap kelompoknya beranggotakan 10-15 orang nelayan. Amaq Eko, ketua kelompok
Nelayan Bangkit Bersama II, mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan aktifitas
nelayan tangkap seperti tahun-tahun sebelumnya, budidaya rumput laut menghasilkan
pendapatan jauh lebih besar. Dengan menggeliatnya usaha budidaya rumput laut di
sana, pemprov NTB menargetkan jumlah produksi rumput laut tahun 2013 ini bisa
menembus angka satu juta ton dengan kualitas standar ekspor.
Masyarakat pesisir Bali Barat memulai usaha budidaya rumput laut sejak tahun 2003. Awalnya budidaya tersebut dilakukan oleh seorang nelayan saja, tetapi pada tahun 2006 sudah didukung oleh 91 orang nelayan dari 6 kelompok nelayan dari Desa Sumber Kima dan Desa Pejarakan. Budidaya rumput laut mempunyai tujuan selain untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, tapi juga membantu pelestarian terumbu karang di wilayah Bali Barat.
Masyarakat pesisir Bali Barat memulai usaha budidaya rumput laut sejak tahun 2003. Awalnya budidaya tersebut dilakukan oleh seorang nelayan saja, tetapi pada tahun 2006 sudah didukung oleh 91 orang nelayan dari 6 kelompok nelayan dari Desa Sumber Kima dan Desa Pejarakan. Budidaya rumput laut mempunyai tujuan selain untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, tapi juga membantu pelestarian terumbu karang di wilayah Bali Barat.
Selain masyarakat Lombok Tengah dan Bali Barat, sejak
tahun 2008 masyarakat di Kabupaten Nunukan juga mulai mengembangkan budidaya
rumput laut. Awalnya masyarakat di sana berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sekarang
rumput laut bahkan menjadi komoditi unggulan dari Kabupaten Nunukan. Akibat
banyaknya masyarakat yang antusias untuk membudidayakan rumput laut, harga
rumput laut pun sempat turun di pasaran. Untungnya usaha masyarakat tersebut
dibantu oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nunukan yang berusaha untuk
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait agar para petani rumput laut
dapat terus berproduksi dan menjual hasil produksinya hingga ke luar negeri.
Adaptasi mengurangi dampak perubahan iklim
Selain beradaptasi akibat dampak perubahan iklim, masyarakat juga sebaiknya beradaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Seperti yang dilakukan masyarakat di Kalimantan Barat. Forum kerjasama pun dijalin berbagai pihak untuk memperkuat gerakan aksi adaptasi perubahan iklim, konservasi keanekaragaman hayati dan kehutanan masyarakat di Kalimantan Barat. Masyarakat hukum adat dayak dan Melayu yang hidup di sana adalah komunitas yang juga menggantungkan hidupnya kepada hutan. Partisipasi mereka untuk menjaga dan memanfaatkan hutan sangat penting bagi kelestarian hutan sebagai penyerap emisi karbon.
Di Pulau Jawa juga terdapat kelompok yang beradaptasi terhadap perubahan iklim. Salah satunya adalah masyarakat pesisir di wilayah Tapak, Semarang. Peningkatan cuaca ekstrim dan kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim mengakibatkan abrasi menjadi lebih besar dan berdampak terhadap degradasi mangrove dan pesisir di Tapak. Degradasi pesisir tersebut berdampak bagi masyarakat yang mayoritas mata pencahariannya adalah petani tambak dan nelayan. Rusaknya hutan mangrove sebagai pelindung pantai mengakibatkan hilangnya tambak dan menurunnya produktivitas tambak. Oleh karena itu sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim, masyarakat di sana bekerja sama dengan beberapa pihak melakukan rehabilitasi kawasan pantai dengan melakukan pembibitan dan penanaman mangrove. Untuk perlindungan pantai dari erosi, selain konservasi mangrove masyarakat juga membangun penahan ombak yang sederhana dan berbiaya murah terbuat dari ban bekas dan bambu. Usaha masyarakat Tapak patut dicontoh oleh masyarakat pesisir lainnya yang juga terancam abrasi.
Adaptasi
terhadap perubahan iklim selain membutuhkan niat dan kerjasama sesama anggota masyarakat
di daerah, dibutuhkan juga bantuan dan kerjasama dari pemerintah, baik itu
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, serta berbagai pihak yang peduli dan
mengurusi masalah perubahan iklim. Banyak organisasi non pemerintah yang terjun
langsung ke lapangan bergerak membantu masyarakat untuk dapat beradaptasi
dengan lebih mudah terhadap perubahan iklim, Oxfam salah satu contohnya. Oxfam
adalah konfederasi internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja
bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan,
membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Cara Oxfam
membantu masyarakat diantaranya adalah dengan memberikan pinjaman usaha dan memberikan
dukungan kepada masyarakat pertanian dengan memberikan sesi pelatihan pertanian
dan Oxfam mendukung pembentukan koperasi lokal.
Melihat
kondisi sekarang rasanya tidak mungkin dan terlalu ekstrem jika manusia akan
punah seperti dinosaurus akibat perubahan iklim. Tapi bukan berarti manusia
bisa menyepelekan perubahan iklim yang terjadi sekarang. Selain kita harus terus
beradaptasi untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan dari perubahan iklim
tersebut, kita juga harus beradaptasi dan mengubah kebiasaan kita masing-masing
untuk tidak terus merusak alam. Sebaliknya, kita harus beradaptasi untuk bisa
lebih ramah terhadap alam dan melestarikannya. Sudah banyak korban dan kerugian
yang ditimbulkan akibat berbagai efek samping dari perubahan iklim. Jangan
sampai planet bumi ini semakin rusak di usianya yang sudah sangat renta dan manusia
yang menghuninya semakin banyak yang menderita. Jika manusia tidak ingin punah
seperti dinosaurus, beradaptasilah mulai dari sekarang!
Referensi:
Comments
Post a Comment